5 Alasan Orang Mungkin Tak Suka dengan Anak Kecil yang Berisik
Di balik kesepakatan umum bahwa anak kecil selalu menimbulkan rasa gemas, keterpesonaan, serta kedamaian dalam hati seseorang, masih saja ada individu yang merasa tak nyaman atau malahan cenderung menjauhi mereka. Walaupun tampaknya ganjil untuk beberapa pihak, ketidak sukaan terhadap anak-anak sebenarnya bukan sesuatu yang harus dinjudge begitu saja. Tiap manusia memiliki latar belakang hidup unik, sudut pandang individual, serta status emosional batin yang dapat mempengaruhi persepsinya.
Tidak memiliki ketertarikan pada anak-anak tak selalu mencerminkan bahwa orang tersebut jahat atau kurang simpati. Terkadang, perasaan seperti itu berasal dari latar belakang yang rumit dan mendalam. Pada artikel ini, kami akan membahas lima faktor utama yang seringkali membuat individu merasa tidak nyaman dengan adanya anak-anak di sekitarnya. Melalui pemahaman terhadap aspek-aspek ini, kita dapat menjadi lebih bijaksana saat menghadapi variasi pendapat tentang hal ini dan menjauhkan diri dari penilaian negatif secara cepat.
1. Kenangan negatif dari waktu lampau

Sebuah alasan yang sering kali menjadi dasar adalah memori negatif dari masa kanak-kanak. Mereka mungkin telah dibesarkan dalam suasana rumah dipenuhi oleh suara menangis, perselisihan, atau stres akibat merawat saudara kandung yang lebih kecil. Peristiwa tersebut dapat menciptakan luka batin atau ketidaknyamanan mendalam tentang hadirnya buah hati.
Jika seseorang memiliki kenangan tidak menyenangkan tentang anak-anak, otak dapat menandai momen tersebut sebagai hal yang memicu stres. Akibatnya, tiap kali bertemu dengan anak-anak, perasaan gembira jarang muncul; malah sering digantikan oleh kekhawatiran atau ketidakenakan. Hal ini sejalan dengan respons psikologis akibat trauma masa lalu yang masih dalam proses penyembuhan penuh.
2. Menderita misophonia

Anak-anak, terlebih lagi yang masih sangat kecil, kerapkali belum pandai mengontrol nada dan volumenya. Mereka dapat bersuara keras ketika tertawa lepas, menjerit-jerit, atau riuh sewaktu bermain. Suasana gaduh tersebut kadang menjadi halangan bagi beberapa pihak, khususnya untuk individu dengan ambang batas toleransi rendah terhadap bunyi atau mereka yang menderita gangguan semacam misofoni.
Rasa tidak menyukai anak-anak dalam situasi ini sebenarnya lebih dikarenakan ketidaknyamanan terhadap tingkah laku spontan yang umumnya ditunjukkan oleh anak-anak. Ini bukan berarti bahwa orang tersebut bermusuhan dengan sang anak, melainkan kondisi suara dan atmosfer yang dihasilkan dari aktivitas anak-anak itu sendiri yang membuat mereka merasa letih, tersingkir, atau bahkan stres. Orang-orang ini cenderung merasa jauh lebih damai serta nyaman saat ada dalam lingkungan yang sunyi dan teratur.
3. Merasa tidak tenang ketika bertukar pikiran

Beberapa orang dewasa mungkin merasa gugup atau ketakutan saat bersosialisasi dengan anak-anak karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana bertindak di hadapan mereka. Perilaku anak kecil sering kali sulit untuk ditebak: terkadang mereka menjadi temperamental, sesekali menangis mendadak, serta dapat berbicara apa adanya tanpa filter yang bisa menciptakan suasana yang agak canggung. Untuk beberapa individu, kondisi seperti itu dapat menyebabkan perasaan khawatir akan gagal atau bahkan rasa malu.
Apabila seseorang mengalami perasaan kehilangan kontrol saat berinteraksi secara sosial, terutama dengan anak-anak yang sangat ekspresif, mereka mungkin lebih memilih untuk mundur. Hal ini merupakan cara mereka melindungi diri dari kondisi di mana mereka merasa kurang mahir. Rasa tidak suka tersebut sebenarnya timbul dari kenyamanan mereka pada ketidakpastian dalam proses bersosialisasi, dan bukan karena adanya motif negatif.
4. Tenang tanpa adanya kemunculan anak-anak

Sebagian orang cenderung pada pola hidup yang damai, leluasa, serta sedikit terganggu. Mereka barangkali amat menikmati momen seorang diri, senang melakukan perjalanan mendadak, atau merasa paling baik ketika berada dalam suasana tempat tinggal bersih dan sunyi. Hadirnya buah hati dapat dipandang sebagai hambatan bagi irama hidup yang sudah lama mereka bentuk.
Anak-anak tentunya menambahkan semangat, bunyi, serta keperluan tambahan yang dapat merombak atmosfer. Untuk orang-orang yang telah biasa dengan kerapian dan kedamaian, situasi seperti itu bisa menyebabkan tekanan mental. Rasa kurang senang tersebut bukannya berasal dari rasa benci, melainkan lebih kepada dorongan untuk menjaga kenyamanan diri sendiri sesuai pola hidup yang sudah ada sebelumnya.
5. Beban tekanan sosial yang terlalu besar

Pada beberapa kesempatan, orang dapat mengalami tekanan dari lingkungan atau keluarga agar mulai menyukai anak-anak atau bahkan cepat memiliki keturunan sendiri. Kondisi serupa bisa menciptakan resistensi di dalam diri seseorang. Untuk melindungi dirinya, mereka malah menjadi kurang tertarik pada anak-anak, merasa tidak nyaman dengan adanya paksaan untuk menerima hal-hal yang belum siap mereka hadapi.
Rasa tidak suka tersebut timbul sebagai akibat dari beban harapan sosial yang terlalu berat. Mereka merasa dibebani atau dipaksa mengadaptasi diri pada standar tertentu, sehingga menyebabkan perasaan benci secara psikologis terhadap lambang dari tekanan itu — dalam kasus ini adalah anak-anak. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan kesempatan serta waktu kepada tiap individu agar dapat menentukan sendiri pandangan mereka tentang anak-anak, tanpa ada paksaan apapun.
Tidak suka seseorang terhadap anak kecil seharusnya tidak langsung dianggap sebagai hal buruk. Ada banyak elemen yang bisa membentuk pandangan ini, seperti trauma masa lampau, tingkat kesensitivan individu, atau bahkan pola hidup yang unik. Sebagai bagian dari komunitas yang menghargai keragaman, sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap orang memiliki respon dan reaksi tersendiri terhadap situasi yang sama.